Oke News, Sumenep, 13 Januari 2021-Di tengah kemelut belum kelarnya persoalan maraknya tambak udang di Sumenep, yang seringkali menjadi sorotan mahasiswa berupa aksi turun jalan, kini muncul persoalan baru dengan rencana penambangan fosfat yang disinyalir oleh sejumlah kalangan lebih berbahaya terhadap kerusakan lingkungan, seperti yang dialami negara Nauru, yang awalnya negara kaya, namun setelah fosfatnya ditambang malah menjadi negara miskin di dunia.
“Tambang di mana-mana merusak bukan membangun. Silahkan googling negara NAURU, negara kaya justru ketika fosfatnya ditambang sekarang menjadi negara miskin,” ungkap aktivis pemerhati lingkungan, K. A Dardiri Muzammil, kepada awak media, Rabu (13/01/2021).
Lebih lanjut Dia menyatakan, semestinya perda RTRW harus memberi kemaslahatan bagi rakyat sumenep. Dibuat atas dasar kebutuhan masyarakat Sumenep dalam jangka panjang, bukan jangka pendek dan juga bukan untuk kebutuhan segelintir orang, kelompok, atau pengusaha.
“Bagi saya sangat tidak masuk akal. Pertama, prosesnya tidak transparan. Tidak ada konsultasi publik dalam bentuk diskusi publik, seminar, debat terbuka di media yang memungkinkan publik bisa memberikan aspirasinya seluas-luasnya. Kalau pun ada yang saya dengar Bappeda cuma bikin FGD tapi drafnya sudah ada, waktunya terbatas, alur FGD diarahkan untuk menyetujui,”ucapnya.
Pemerintah daerah kata dia, tidak mau belajar dari kasus habisnya pesisir akibat alih fungsi lahan untuk tambak udang. Dampaknya sekarang sudah terasa, masih mau ditambah dengan memberi ruang bagi pengusaha tambang.
“Tanah kita gugusan batu karst. Karst adalah tandon tempat menyimpan air ketika musim hujan. Kalau fosfat diambil tandonnya akan rusak. Dalam jangka panjang, kita akan mengalami kekeringan. Wilayah baru karst Atau wilayah tambang fosfat itu adalah wilayah resapan air. Jika ditambang, ketika musim hujan apalagi dengan curah hujan tinggi akan menimbulkan banjir. Banjir di Sumenep yang makin besar tahun ini akibat rusaknya wilayah resapan air di hulu sungai kebunagung dan sepanjang pesisir sungai. Bayangkan jika terjadi penambangan fosfat, akan makin mengerikan. Tandasnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumenep, Yayak Nurwarhyudi membantah, jika review dan perubahan terhadap RTRW, bukan karena masuknya Perusahaan Penambang Fosfat. Melainkan, karena memang ada beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan.
“Setiap 5 tahun, kami pasti melakukan review terhadap RTRW. Jadi tidak ada sangkut pautnya untuk upaya golkan fosfat,” ujarnya, Rabu (13/1/2021) melalui telepon selulernya
Saat ditanya, ada berapa titik fosfat yang sudah direkomendasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep untuk bisa dilakukan penambangan. Yayak panggilan akrab dari Yayak Nurwahyudi mengakui ada 6 hingga 7 titik yang telah diberi rekomendasi.
“Kalau gak salah 6 hingga 7 titik yang telah diberi rekomendasi, karena memang masuk dalam RTRW. Tapi saya tidak ingat daerahnya dimana saja,” ujarnya.
Dikeluarkannya rekomendasi terhadap Perusahaan Pertambangan untuk melakukan penambangan Fosfat, mendapatkan tanggapan keras dari Anggota DPRD Sumenep, Bahkan, DPRD Sumenep meminta Pemerintah Daerah tidak serta merta mengeluarkan rekomendasi, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat.
M. Syukri Ketua Badan Pembuat Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sumenep mengatakan, rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) terhadap Perusahaan pertambangan fosfat, seharusnya tidak langsung diberikan. Sebab, Pemerintah Daerah harus mempetimbangkan dampak dari penambangan tersebut.
“Tidak serta merta langsung dikeluarkan rekomendasi tersebut, melainkan harus mempertimbangkan terlebih dahulu apa dampaknya kepada masyarakat,” ujarnya, Rabu (13/1/2021).
Syukri juga membenarkan, Pemerintah Daerah telah mengajukan perubahan RTRW 2013-2033 ke DPRD pada tahun 2020. Namun, perubahan tersebut masih belum dilakukan pembahasan.
“Tahun 2020 kemarin memang sudah diajukan draftnya, dan belum kami bahas,” pungkasnya.
Komentar