“Hari Buku Sedunia: Literasi di Madura: Masih Jauh dari Ideal

Oleh: Moch Thoriqil Akmal B, S.H

OPINI, Setiap 23 April, dunia memperingati Hari Buku Sedunia. UNESCO yang pertama kali menetapkan hari ini pada tahun 1995, dengan tujuan mempromosikan membaca, penerbitan, dan hak cipta. Tapi, jujur aja deh berapa banyak dari kita yang benar-benar peduli sama hari ini?

Banyak orang tahu kapan Hari Valentine, Hari Ibu, sampai Hari Ulang Tahun mantannya. Tapi Hari Buku? Kayaknya gak masuk radar. Padahal, buku itu penting banget buat hidup kita. Sayangnya, budaya membaca di Indonesia masih bisa dibilang “antara ada dan tiada”.

Coba inget-inget, kapan terakhir kali kamu baca buku sampai tamat? Kalau jawabannya lebih dari tiga bulan lalu, berarti kamu termasuk mayoritas. Bukan maksud nyalahin, tapi fakta di lapangan memang begitu. Banyak orang ngerasa baca buku itu berat, bikin ngantuk, atau cuma cocok buat anak kuliahan.

Padahal, buku itu gak selalu serius dan bikin pusing. Sekarang udah banyak banget buku ringan, lucu, inspiratif, sampai yang bisa bikin kita mikir dua kali tentang hidup. Tapi tetap aja, kebiasaan baca kayak masih jadi barang mewah di negeri ini.

Alasannya macem-macem. Mulai dari sibuk kerja, waktu abis buat scroll medsos, sampe yang bilang “buku itu mahal”. Tapi kadang, alasan sebenarnya bukan karena gak ada waktu atau uang tapi karena gak ada kebiasaan. Kita gak dibiasakan buat baca dari kecil. Kalau pun disuruh baca, biasanya karena tugas sekolah, bukan karena dorongan dari diri sendiri.

Sekolah kita pun lebih banyak fokus ke “hafalan” daripada “pahaman”. Jadi wajar kalau anak-anak tumbuh dengan anggapan bahwa baca itu kewajiban, bukan kesenangan.

Di Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep, budaya membaca masih menghadapi tantangan serius. Berdasarkan data dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sumenep, angka kunjungan ke perpustakaan daerah dalam satu tahun terakhir bahkan tidak mencapai 10% dari total populasi. Ini menunjukkan bahwa buku belum menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat.

Padahal, Sumenep punya sejarah besar dalam dunia keilmuan. Dahulu, para raja Sumenep dikenal sebagai cendekiawan yang gemar membaca dan menulis. Di masa lalu, bahkan ada tradisi “moco lontar” alias membaca naskah kuno sebagai kegiatan rutin di lingkungan pesantren dan keraton.

Sayangnya, tradisi intelektual itu perlahan memudar. Hari ini, warung kopi lebih ramai daripada perpustakaan. HP lebih laku dari buku. Bukan salah teknologinya, tapi karena buku belum dianggap penting buat kehidupan sehari-hari.

Beberapa tokoh nasional pernah menyinggung soal pentingnya membaca. Misalnya, Presiden RI pertama, Soekarno, pernah bilang:

“Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Kutipan ini menunjukkan betapa besarnya peran buku dalam membentuk pola pikir dan memperluas wawasan.

Sementara itu, Menteri Pendidikan saat ini, Nadiem Makarim, pernah menegaskan:

“Kemampuan literasi adalah fondasi. Tanpa literasi, anak-anak akan kesulitan belajar apapun.”

Pernyataan itu bukan sekadar slogan. Kalau anak-anak Sumenep ingin maju, maka harus dimulai dari buku. Karena dari membaca, semua ilmu bisa dikuasai.

Meski secara umum minat baca di Madura masih rendah, ada secercah harapan. Beberapa komunitas literasi mulai tumbuh di kampung-kampung.

Mereka tidak menunggu perpustakaan megah. Cukup dengan tikar, kardus buku, dan semangat. Ini bukti bahwa keinginan membaca bisa muncul dari mana saja, bahkan dari pelosok yang jarang tersentuh.

Kalau kita mau punya generasi yang bisa mikir jernih, gak gampang dibodohi, dan siap bersaing, maka buku harus jadi bagian dari hidup.

Mulailah dari hal kecil baca satu halaman sehari. Saling tukar buku sama teman. Dan yang paling penting jangan malu ngakuin kalau kita belum suka baca. Karena perubahan selalu dimulai dari kejujuran.

Buku bukan lagi barang mahal. Yang mahal itu malas membaca. (*).

Comment