Di Antara Pena yang Licik dan Celurit yang Marah

OKENEWS.ID-Di Madura, celurit bukan hanya benda tajam. Ia adalah simbol, warisan, dan identitas. Begitu pula pena, meski lebih halus dan tak meneteskan darah secara langsung, ia menyimpan potensi untuk menyelamatkan atau menghancurkan bangsa. Dua benda yang tampak bertolak belakang ini sesungguhnya menyimpan filosofi yang sama: keduanya netral, bergantung pada siapa yang menggenggamnya.

Di tangan seorang guru di desa terpencil, pena adalah senjata melawan kebodohan. Ia menulis di papan tulis, di atas buku lusuh murid-muridnya, membagikan ilmu tanpa pamrih, membangun masa depan bangsa. Tapi di tangan pejabat korup, pena bisa menjadi alat paling jahat. Dengan satu tanda tangan, dana bantuan bisa lenyap, program fiktif bisa lahir, dan rakyat bisa dibungkam lewat dokumen-dokumen resmi yang manipulatif.

Fenomena di berbagai desa di Sumenep, misalnya, seringkali ditemukan program padat karya yang tak jelas hasilnya. Dokumen lengkap, rekening atas nama kelompok masyarakat dicetak rapi, bahkan foto kegiatan kadang dibuat seremonial. Tapi rakyat tahu, jalan tetap berlubang, jembatan tetap lapuk, dan air bersih tetap angan-angan. Semua berawal dari pena alat yang jika digunakan oleh tangan tamak, hanya menyisakan dusta.

Celakanya, pena bukan lagi hanya milik pendidik. Ia kini dikendalikan oleh mereka yang mengerti sistem, tapi tidak beretika. Oleh mereka yang menulis laporan pertanggungjawaban penuh angka, tapi tidak punya rasa tanggung jawab pada penderitaan rakyat. Oleh mereka yang mencetak surat tugas, SK fiktif, proposal pengadaan, atau rekomendasi rekomendasi kosong yang mempermulus korupsi.

Celurit dalam budaya Madura tidak selalu identik dengan kekerasan. Di tangan penggembala, ia adalah alat bertahan hidup. Ia digunakan untuk memotong rumput, melindungi hewan ternak, atau sekadar bagian dari keseharian masyarakat desa. Bahkan dalam seni tradisional seperti karapan sapi, celurit sering muncul sebagai simbol keberanian dan kehormatan.

Namun realitas hari ini menampilkan wajah lain. Celurit kerap muncul dalam berita kriminal: perkelahian antar pemuda, bentrokan antar kelompok, bahkan pembunuhan. Ini bukan karena celuritnya jahat, tapi karena tangan yang menggenggamnya kehilangan akal dan etika.

Di sinilah tantangan budaya kita. Ketika simbol warisan berubah makna karena degradasi moral. Ketika celurit tidak lagi diasosiasikan dengan penggembala, tapi dengan kekuasaan preman, pemalakan jalanan, dan intimidasi. Sama seperti pena, celurit juga kehilangan arah jika pemiliknya kehilangan hati nurani.

Mari kita buka lebih dalam wajah birokrasi kita. Di Kabupaten Sumenep, berbagai kasus muncul mulai dari proyek fiktif padat karya, penyalahgunaan dana bantuan desa, hingga pembiaran terhadap pabrik rokok ilegal. Semuanya melibatkan pena dalam bentuk laporan, nota dinas, hingga memo internal. Tapi, ketika pena hanya menjadi alat formalitas, maka rakyat akan berhadapan dengan celurit ketidakadilan.

Masyarakat yang lelah ditipu dokumen akan mencari cara melawan. Di sinilah celurit bisa bangkit bukan dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi dalam bentuk perlawanan sosial. Unjuk rasa, protes mahasiswa, hingga sindiran tajam lewat puisi dan mural adalah bentuk celurit kontemporer yang muncul dari frustrasi kolektif.

Sebaliknya, ketika pena dan celurit bersatu dalam kebaikan, maka Madura bisa menjadi pulau yang kuat berbudaya, cerdas, dan adil. Guru yang mendidik anak-anak di bawah pohon rindang dengan pena, dan petani yang menggenggam celuritnya dengan damai di ladang adalah simbol kemakmuran yang sesungguhnya.

Kuncinya terletak pada satu pertanyaan: Siapa tuannya?

Pena tidak pernah salah. Celurit tidak pernah memilih. Tapi manusia yang menggenggam keduanya bisa menjadi penentu arah: apakah pena digunakan untuk menulis kebenaran atau memalsukan data? Apakah celurit digunakan untuk menjaga atau melukai?

Kita terlalu sering menyalahkan alat, tapi jarang mengevaluasi moral penggunanya. Kita bicara tentang reformasi birokrasi, tapi melupakan revolusi karakter. Kita mengecam kekerasan, tapi membiarkan kemiskinan dan ketidakadilan membusuk di akar desa.

Bahkan dalam dunia pendidikan, seringkali pena hanya menjadi alat administratif untuk mengisi absen, membuat laporan, bukan lagi untuk menyalakan semangat belajar. Sementara itu, celurit sebagai warisan budaya justru dianggap simbol kekerasan karena minimnya edukasi sejarah dan pemahaman nilai lokal.

Pena dan celurit sama-sama punya potensi besar. Tapi Madura tak butuh lebih banyak ancaman. Madura butuh pencerahan.

Kita butuh lebih banyak guru yang menulis dengan kejujuran. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang menandatangani keputusan dengan hati, bukan karena kepentingan politik. Kita juga butuh lebih banyak anak muda yang membawa celurit sebagai simbol ketahanan pangan, bukan ketakutan.

Jika moral kita dibangun, maka tak perlu takut pada pena, dan tak perlu gentar pada celurit. Karena keduanya akan menjadi alat perjuangan, bukan penghancuran.

Di dunia ini, kita semua diberi pilihan: menjadi tuan yang baik bagi pena dan celurit, atau menjadi penjagal yang hanya menebar luka.

Kita bisa menjadi guru, penulis, jurnalis, atau aktivis yang menghidupkan pena. Atau menjadi petani, nelayan, atau penggembala yang menjinakkan celurit. Yang penting adalah, nilai-nilai di baliknya: kejujuran, keberanian, dan kepedulian.

Karena dalam sejarah bangsa ini, baik pahlawan yang menulis konstitusi maupun pejuang yang mengangkat senjata punya tempat yang sama: mereka tahu kapan harus menulis, kapan harus bertindak, dan siapa yang menjadi tuannya yaitu rakyat.

Jadi, jika hari ini Anda menggenggam pena, tulislah kebenaran. Jika Anda menggenggam celurit, jagalah kehidupan. Karena masa depan Madura tidak ditentukan oleh tajamnya alat, tetapi oleh bersihnya hati mereka yang memegangnya.

 

Oleh: Moch Thoriqil Akmal B, S.H

Comment