Oke News, Sumenep-Manusia layaknya buku. Ada yang menipu kita dengan sampulnya, dan tak jarang pula mengejutkan kita dengan isinya. Maka, menghadapi mereka, harus penuh waspada.
Di Kabupaten Sumenep, ada dua jurnalis dipukul oleh kades dan mantan kades. Peristiwa ini berujung laporan. Polisi pun, katanya, lekas bertindak.
Beberapa hari kemudian, polisi menyampaikan narasi bahwa 2 pelaku telah diamankan. Hal ini dilakukan setelah beberapa jurnalis dan aktifis melakukan aksi desakan.
Kasus pemukulan ini dikabarkan berakhir damai. Pelapor mendadak cabut laporan, 2 pelaku dibebaskan dan uang 150 juta menjadi mahar perdamaian.
Karena dibicarakan secara berulang, kejanggalan proses damai ini menjadi kebenaran yang penuh cibiran, dan bahkan menjadi aib baru yang harus ditanggung setiap orang yang secara hati-hati terus menjaga marwah jurnalis yang betugas di lapangan.
Profesi jurnalis kembali tercoreng! keluh seorang kawan lewat panggilan WhatsApp. Dan kalau mahar kasus pemukulan oleh kades itu terbukti, sudah cukup syarat jika semua jurnalis dipandang remeh dan mata duitan, lanjutnya.
Mendengar serapah dan keluhnya, saya hanya mampu diam. Ungkapan kawan saya, jelas adalah ekspresi kekesalan yang harus saya terima sebagai sikap yang wajar.
Kawan saya pun menanyakan, jika mahar 150 juta terbukti, apakah dua jurnalis, semua kroni dan pelaku pemukulan itu bisa dilaporkan ke polisi sebagai upaya pencemaran? Merendahkan profesi jurnalis.
Mendengar itu, saya menjawabnya secara pelan-pelan. Pertama, melaporkan orang yang melacurkan profesi jurnalis bukan perkara gampang. Karena kita sering disogok dengan alasan-alasan yang meninabobokkan.
Misalnya, demi rasa kebersamaan dan kekompakan, kita harus pasang badan untuk semua orang berlabel jurnalis yang sedang mendapat perundungan. Meskipun akhirnya berujung mahar yang mengejutkan.
Kedua, jika ada jurnalis yang tidak pasang badan, ia akan mudah dikucilkan. Solidaritasnya dipertanyakan. Bagaimana pun caranya, jika sudah menggunakan label jurnalis, gerombolan maling dan perampok pun layak mendapat pembelaan(?)
Bagi saya, inilah titik lemah yang harus segera dibicarakan. Jika tidak, label jurnalis akan terus jadi bancakan. Kita akan terus dilumuri getah dari nangka yang tidak ingin kita makan.
Oleh karena itu, ide melaporkan orang yang melacurkan profesi jurnalis, seluruh kroni dan pelaku pemukulan, saya rasa bisa menjadi salah satu pilihan. Paling tidak, kita bersikap tegas pada setiap oknum perusak yang selama ini kita anggap kawan.
Rencana ini akan terealisasi jika kita mau berbenah. Tidak lagi tergiur dengan iming-iming demi kebersamaan atau solidaritas yang ternyata penuh, maaf, kemunafikan.
Namun, usulan ini bisa jadi dianggap bualan. Sebab, tidak banyak jurnalis yang lahir dari kesadaran bahwa ada resiko besar saat menjaga nama baik yang diemban.
Kata kawan saya, hari ini sudah banyak jurnalis yang berpegang teguh pada pandangan menyesatkan bahwa jurnalis adalah Tuhan kedua dalam kehidupan.
Jurnalis seakan tidak layak disalahkan. Jika pun terbukti keliru, paling tidak, ia berhak pulang dengan mendongakkan kepala sembari membawa mahar perdamaian. Maaf, prilaku ini sungguh bejat bukan?
Terakhir, jika upaya damai ini adalah demi politik, apakah memang profesi jurnalis yang harus dijadikan korban? Doa kecil saya adalah, semua yang bersekongkol melakukan pengrusakan, semoga Tuhan jauhkan dari tenangnya kehidupan. Amin.
Penulis : Nur Khalis Wartawan KompasTV
Komentar