Tidak Punya Jabatan Tapi Punya Kuasa

By: Moh. Zainur Rahman

“Karena kuasa sejati tak selalu duduk di singgasana”

OKENEWS.ID, SUMENEP – Dalam konteks pemerintahan maupun organisasi sosial sering kali kita menjumpai figur figur yang tidak memiliki jabatan struktural, namun mampu memainkan peranan besar dalam pengambilan sebuah keputusan. Seringkali mereka yang tidak tercatat dalam hierarki jabatan, namun memiliki power yang sangat kuat sehingga keputusan yang dibuat lebih menentukan daripada pemegang jabatan formal.

Inilah yang disebut sebagai fenomena “kuasa tanpa jabatan” atau informal power, sebuah bentuk kekuasaan yang berjalan di balik layar dan sering kali luput dari perhatian sekitar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk jabatan. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh filsuf politik Michel Foucault, “Power is everywhere… because it comes from everywhere.” Artinya, kekuasaan tidak hanya bersumber dari struktur formal, tetapi juga dari relasi sosial, akses informasi, dan kedekatan dengan sumber daya strategis.

Dalam konteks lokal, kuasa bisa bersumber dari hubungan kekerabatan, ekonomi, atau jaringan politik yang mengakar kuat.
Orang yang memiliki kuasa tanpa jabatan ini bisa berasal dari berbagai latar belakang, seperti tokoh masyarakat, keluarga pejabat, pengusaha besar, bahkan mantan pejabat yang masih memiliki loyalis dalam sistem. Mereka bekerja secara informal, tetapi sering kali menjadi aktor kunci dalam proses pengambilan keputusan. Di sinilah muncul persoalan etika dan akuntabilitas. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki tanggung jawab struktural bisa mempengaruhi kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas?

Dengan ketiadaan jabatan yang mereka meliki hal tersebut membuat kekuasaan mereka sulit dikontrol. Tidak ada mekanisme evaluasi, audit, atau pertanggung jawaban publik yang bisa dikenakan kepada mereka. Jika keputusan yang dihasilkan bermasalah, sulit untuk menagih tanggung jawab pada sosok di balik layar ini. Inilah yang membahayakan sistem demokrasi dan tata kelola yang sehat. Seperti yang diingatkan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kuasa tanpa batas dan tanpa kontrol hanya akan memperbesar potensi penyalahgunaan.

Dalam konteks pemerintahan daerah, seperti di Sumenep, praktik semacam ini seringkali terjadi dalam bentuk intervensi terhadap proyek-proyek pembangunan, mutasi jabatan, hingga distribusi bantuan sosial. Hal ini bukan hanya melahirkan ketidakadilan, tetapi juga mematikan prinsip meritokrasi di mana yang berhak dan kompeten seharusnya mendapatkan tempat. Sebaliknya, keputusan diambil berdasarkan kedekatan, loyalitas, atau kepentingan sesaat.

Tak jarang pula, kuasa tanpa jabatan ini menjadi sarana lahirnya praktik-praktik kolusi dan nepotisme. Keputusan yang seharusnya rasional dan berbasis data, malah dikendalikan oleh pertimbangan relasi personal. Ini menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi negara dan menciptakan budaya birokrasi yang tidak profesional. Padahal, seperti dikatakan oleh Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan hanya untuk mengganti penjajahan asing dengan penjajahan orang dalam negeri, tetapi untuk membangun sistem yang adil dan transparan.”

Namun demikian, tidak semua pengaruh tanpa jabatan bersifat destruktif. Ada pula figur-figur informal yang justru menjadi penyeimbang kekuasaan formal, seperti tokoh agama, intelektual lokal, atau aktivis masyarakat sipil yang menyuarakan kritik konstruktif. Dalam konteks ini, pengaruh tanpa jabatan bisa menjadi kekuatan moral yang menjaga integritas pemerintahan. Tapi perbedaannya terletak pada orientasi, mereka bergerak demi kepentingan publik, bukan keuntungan pribadi atau kelompok.

Solusi terhadap persoalan ini tidak cukup hanya dengan mengatur ulang struktur formal. Diperlukan kesadaran kolektif untuk membangun budaya politik yang sehat. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan kebijakan. Pers dan lembaga pengawas harus diberi ruang yang luas untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Seperti ditegaskan oleh Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, “Good governance is perhaps the single most important factor in eradicating poverty and promoting development.” Pemerintahan yang baik harus bersih dari kuasa-kuasa gelap yang bekerja di luar sistem.

Dalam konteks Sumenep, upaya untuk membangun tata kelola daerah yang transparan dan akuntabel harus dimulai dari komitmen pemimpinnya. Pemimpin daerah harus tegas membatasi ruang pengaruh yang tidak memiliki legitimasi publik. Perlu juga dibangun sistem rekrutmen, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan yang terbuka, partisipatif, dan berbasis data. Dengan begitu, kebijakan benar-benar lahir dari proses yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan dari bisikan para penguasa tanpa nama.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa jabatan adalah amanah, dan kuasa adalah alat untuk melayani. Jika kekuasaan dijalankan tanpa jabatan dan tanpa tanggung jawab, maka yang lahir bukan pelayanan publik, melainkan dominasi pribadi.

Dalam demokrasi yang sehat, jabatan dan kuasa harus bersatu dalam kerangka etika, hukum, dan kepentingan rakyat. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi saksi dari sistem yang dikendalikan oleh tangan tangan tak terlihat, yang kuat bukan karena mandat, akan tetapi karena kedekatan dan kepentingan politik sesaat. (*).

Comment