OKENEWS.ID, SUMENEP – Kucuran dana sebesar kurang lebih Rp 3,9 miliar untuk 40 PKBM lebih (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, kini menjadi bola panas. Sorotan tajam tertuju pada dugaan lembaga fiktif dan manipulasi data peserta didik demi mengamankan pencairan dana dari APBN.
Ironisnya, bukannya membantah, Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep justru secara tidak langsung membenarkan adanya praktik markup data yang dilakukan sejumlah PKBM.
Kepala Bidang PAUD dan Pendidikan Nonformal (PNF), Lisa Bertha Soetedjo, mengungkapkan bahwa pihaknya kerap menemukan data yang tidak valid—termasuk nama peserta didik yang seharusnya sudah tidak tercatat.
“Kalau markup data, kalau PKBM mungkin. Tapi kalau dari kita (Dinas), ya kita buang,” ujarnya tanpa basa-basi.
Menurut Lisa, saat proses sinkronisasi data, kerap muncul peserta didik yang sudah lulus dari sekolah lain, atau masih aktif di sekolah formal, tapi juga didaftarkan sebagai peserta di PKBM.
Data semacam itu, kata dia, akan muncul sebagai residu dalam sistem Dapodik—diberi tanda merah karena tidak valid.
Namun anehnya, meski tahu data bermasalah, Dinas mengaku tidak langsung mengambil tindakan. Mereka lebih memilih “berkoordinasi dulu” dengan lembaga bersangkutan.
“Kalau mereka tetap berkehendak tidak membuang, ya di kita muncul residu. Dinas yang kemudian mengeluarkan (data tersebut),” jelasnya.
Pernyataan itu justru membuka tabir lemahnya pengawasan. Lembaga PKBM yang diduga sengaja menarik-narik data untuk memenuhi syarat pencairan dana, seolah diberi ruang oleh Dinas untuk menyulap data semaunya. Celakanya, tidak sedikit PKBM yang diduga fiktif, alias hanya aktif saat pencairan anggaran.
Sumber internal menyebutkan, sebagian besar dari 40 PKBM lebih penerima anggaran tidak memiliki aktivitas belajar nyata, dan beberapa bahkan tidak memiliki kantor fisik yang layak. Mirip modus pabrik “bodong”, lembaga semacam ini hanya hidup saat dana turun, lalu hilang jejak.
Minta Audit dan Penegakan Hukum
Sejumlah aktivis pendidikan mendesak agar dana Rp 3,9 miliar tersebut diaudit secara menyeluruh, termasuk memeriksa ulang seluruh PKBM yang menerima anggaran.
“Jangan sampai ini jadi skema bancakan massal. Kalau ada fiktif, harus diproses hukum. Jangan cuma dibuang dari data, tapi pelakunya bebas berkeliaran,” tegas salah satu pemerhati pendidikan Sumenep yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar: sejauh mana Dinas Pendidikan benar-benar melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap lembaga penerima anggaran? Atau, jangan-jangan ada pembiaran sistematis demi kenyamanan bersama?
Publik kini menunggu langkah nyata—bukan sekadar dalih teknis. Karena kalau benar ada lembaga fiktif dan data ganda dibiarkan lolos, ini bukan lagi soal pendidikan. Tapi korupsi yang merampas hak warga belajar.
Pewarta: Faiz
Editor: Ahmadi
Comment