Oke News, Sumenep, 12 Maret 2023-Sebetulnya ketika dewan disuruh behenti membahas raperda (baca: moratorium), itu sama seperti menyuruh para ustadz berhenti mengajar kitab kuning. Sama juga dengan menyuruh jurnalis berhenti menulis.
Apa pantas menyuruh kyai berhenti membahas tafsir ibn katsir atau tahafut alfalasifah karena santrinya bebal dan lebih suka ‘ngonten’ tiktok.
Bukankah Tukang ukir disebut profesional ketika ia hanya mengukir. Pelatih bola sekelas jurgen klop juga hanya melatih. Tukang ukir tak pernah mengaspal. Pelatih juga tak turun ke gelanggang.
Tuhan mencipta segala hal lengkap dengan desain dan peruntukannya masing-masing. Setiap lembaga dan organ pemerintahan juga demikian. Masing-masing dibentuk oleh Undang-Undang lengkap dengan tugas dan fungsinya.
Dewan Sumenep dipilih, diangkat dan bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Di bidang legislasi, harus diakui, memang tak mengecewakan. Dewan secara konsisten merespon setiap kebutuhan hukum di masyarakat yang berkembang secara dinamis.
Polemik tambak udang direspon dengan usul raperda pedoman pengendalian pencemaran air permukaan bagi usaha tambak udang. Masalah pertanahan direspon dengan raperda reforma agraria. Masalah gender direspon dengan raperda pengarusutamaan gender.
Dibidang pengawasan juga tak jauh beda. Ketika Nakes non PNS berteriak soal kebijakan yang dapat memperbaiki derajat kehidupan mereka, komisi IV merespon. Mereka panggil OPD. Mereka sidak ke puskesmas-puskesmas.
Ketika para aktivis BATAN protes ketidakadilan distribusi kepemilikan tanah, komisi I merespon dengan FGD reforma agraria. Komisi II merespon penolakan reklamasi pantai gresik putih. Komisi III minta pembangunan dermaga talango segera difungsikan.
Badan Pusat Statistik Sumenep tahu betul berapa kali Dewan melakukan rapat dan menerima pengaduan masyarakat /audliensi. Sebab mereka secara rutin berkirim surat meminta data produk hukum dan kegiatan dewan setiap tahun.
Secara institusional, Dewan tidak bisa dipersepsi sebagai ‘pemadam kebakaran’. Dalam arti persoalan apapun dibawa ke dewan. Penititi jatuh pun lapor ke dewan. Beda cerita ketika mereka turun ke dapil untuk reses dan sosialisasi. Mereka punya kewajiban personal untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, fungsi pengawasan dewan tidak sama dengan pengawasan inspektorat atau satpol PP. Pengawasan Dewan bersifat evaluatif dan koordinatif. Ini yang sering disalahpahami. Karena kesalahpahaman ini pula muncullah istilah perda macan kertas.
Perda memang dibahas Dewan. Tapi, pada tataran implementasinya menjadi domain Dinas, Badan, Kantor, Kecamatan, Desa dan Kelurahan . Jika pun terjadi pelanggaran atas perda maka inspektorat dan Satpol PP yang berkompeten melakukan penindakan dilapangan.
Jika pelaksanaan dan penegakan perda dipandang tidak relevan atau tidak tercapai maksud dan tujuannya, maka disini jurisdiksi dewan yang harus bekerja melakukan evaluasi dan koordinasi.
Dewan mengevaluasi dengan memetakan persoalan teknis yang terjadi dalam pelaksanaan perda. Bisa saja dari muatan materi perdan yang menyebabkan misinterpretasi. Sehingga kemudian terjadi kesalahan penerapan dilapangan. Dewan berkoordinasi dengan kepala daerah dan memanggil OPD.
Jadi, seruan moratorium pembahasan raperda saya pikir tidak relevan. Karena, sejatinya tak ada perda macan kertas. Tak ada perda yang sia-sia. Hanya saja, masyarakat belum memahami secara utuh proses perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga penerapannya.
Penulis : Kepala Bagian (Kabag) Persidangan dan Perundang-Undangan Sekretariat DPRD Sumenep Hasan Bashri
Komentar