OKENEWS.ID, SUMENEP – Uang negara miliaran rupiah yang semestinya menjadi penyelamat pendidikan bagi masyarakat marginal, justru diduga ‘dikeruk’ habis-habisan oleh lembaga bayangan di Kabupaten Sumenep. Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) untuk lembaga non-formal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kini menjadi sorotan tajam: ada bau amis penyimpangan yang menyengat!
Dalam satu tahun anggaran, sedikitnya Rp3,9 miliar dikucurkan ke 42 lembaga PKBM di Sumenep. Namun, alih-alih mendongkrak kualitas pendidikan kejar paket, dana tersebut justru diduga dijadikan bancakan segelintir orang yang memegang kendali lembaga secara tunggal.
Tak main-main, ada PKBM yang mendapat dana hingga Rp250 juta lebih, sementara lembaga lain hanya diganjar di bawah Rp10 juta. Ironisnya, banyak pengelola yayasan justru mengaku tak tahu-menahu berapa dana yang sebenarnya masuk ke rekening lembaganya.
“Kami tidak pernah tahu angkanya. Semua dipegang satu orang—kepala sekaligus operator. Kami cuma bisa pasrah,” ujar seorang pengelola yayasan yang meminta namanya dirahasiakan.
Lebih mencengangkan lagi, dana pendidikan itu diduga dialihkan ke sektor yang sama sekali bukan peruntukannya: gaji guru PAUD dan TK, hingga fasilitas sekolah formal! Padahal, aturan Kemendikbudristek sangat jelas: dana BOSP untuk PKBM hanya untuk mendanai kejar paket bagi warga belajar non-formal.
Celakanya, praktik pengelolaan dana ini nyaris tanpa pengawasan. Di banyak tempat, kepala PKBM merangkap sebagai bendahara, operator, sekaligus pengambil kebijakan. Satu tangan menguasai semuanya—pintu masuk praktik kolusi pun terbuka lebar!
Tak berhenti di situ, indikasi keberadaan PKBM fiktif juga mulai terkuak. Warga di sejumlah desa mencium keganjilan luar biasa dalam data peserta didik. Di satu desa kecil, tercatat ratusan anak muda usia belasan hingga awal 20-an ikut program kejar paket. Pertanyaannya: kenapa mereka tidak sekolah formal?
“Kalau masih umur 17 atau 18 tahun, kenapa ikut kejar paket? Apa benar ada mereka? Atau cuma akal-akalan untuk menyedot dana?” ujar seorang tokoh masyarakat di salah satu kecamatan di wilayah Pantura Sumenep.
Sesuai aturan, dana BOSP hanya bisa mengalir untuk warga belajar berusia maksimal 24 tahun dan belum menamatkan pendidikan dasar-menengah. Tapi di lapangan, tak sedikit yang dicurigai memanipulasi data usia atau bahkan membuat warga belajar fiktif demi mengejar kucuran dana.
Sampai berita ini diturunkan, Dinas Pendidikan Sumenep bungkam. Tak satu pun pernyataan resmi keluar dari kantor yang seharusnya bertanggung jawab atas pengawasan program ini. Sikap tutup mulut ini justru semakin memperkuat kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi.
Aktivis pendidikan pun angkat suara, mendesak agar audit total dan investigasi lapangan segera dilakukan.
“Kalau benar ada penyelewengan, artinya ada generasi yang dirampas hak belajarnya. Ini bukan sekadar uang yang hilang—ini soal masa depan!” tegas seorang pegiat literasi di Sumenep.
Skandal ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Pertanyaannya kini: siapa yang bermain di balik layar, dan berapa banyak dana yang benar-benar sampai ke tangan warga belajar?
Pewarta: Ahmadi
Comment