OKE NEWS, SUMENEP-Pakar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Profesor Imam Koeswahyona menyebut reforma agraria menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah.
Ketimpangan penguasaan tanah menurutnya sudah sejak lama terjadi di Indonesia. Bahkan Ia menyebut sudah berlangsung sejak era kolonialisme.
“Ketimpangan struktural itu sedikit orang di suatu negara menguasai tanah begitu luas, sisanya menguasai sedikit tanah bahkan tidak punya sama sekali”, ujar Imam Koeswahyono saat dijumpai di Fakultas Hukum Unibraw Malang, Rabu 10 Oktober 2023.
Lebih detil ia menyebut data yang dirilis tahun 2019 hanya 21 persen dari jumlah penduduk Indonesia menguasai 49 persen dari sumber daya alam.
“Berarti kan sisanya sekitar 79 persen penduduk itu hanya menguasai 51 persen sumber daya alam seperti tanah dan hutan. Ini kan timpang”, katanya.
Walaupun demikian, Pakar Agraria asal Fakultas Hukum Unibraw Malang ini menyatakan pemerintah telah melakukan upaya penataan aset dan penataan akses atas tanah.
Lebih lanjut ia menjelaskan penataan akses penguasaan tanah oleh negara dengan memfasilitasi mayoritas penduduk yang tak memiliki tanah agar mendapatkan bagian dari redistribusi tanah obyek reforma agraria.
Selain untuk mengatasi ketimpangan struktural, esensi dari reforma agraria menurutnya juga untuk mencegah munculnya tuan-tuan tanah baru.
“Redistribusi tanah itu bukan solusi, jika yang terjadi tanah yang dibagikan itu kemudian dijual lagi ke mereka (kaum borjuis, tuan tanah). Ini kan solusi yang memunculkan masalah baru”, kata Imam Keswahyono.
Padahal salah satu tujuan dari ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada September 1960 menurutnya adalah untuk menghapus tuan-tuan tanah (landlord) di Indonesia.
“Artinya bagaimana regulasi (perda reforma agraria) yang mau kita ciptakan itu, mampu merealisasikan yang tadi. Mencegah munculnya tuan-tuan tanah baru. Dan ini tidak mudah”, pungkasnya.
Komentar